Hal yang Saya Lakukan Saat Naik DAMRI

“Ayoo, ayooo cepetan naik bu, jalanan lagi macet nih”, sebuah seruan dengan logat khas Batak terdengar dari balik kemudi lebar transportasi besar. Dengan seragam dinas berwarna biru telur asin, wajah di balik kacamata ovalnya sedikit merengut kepada ibu-ibu yang membawa barang bawaan cukup banyak kedalam kendaraannya. Cahaya matahari siang itu cukup membuat dahinya yang agak lebar berkilauan juga dikarenakan rambut klimis berpomade-nya disisir slicked back kekinian bak anak muda jaman sekarang, padahal ini kejadian berkisar tahun 2005-2010, dimana gaya rambut spike menjadi trend saat itu. Ia adalah seorang supir bis DAMRI jurusan Leuwi Panjang-Ledeng di masa itu, entah sekarang masih bertugas atau tidak. Mungkin dialah satu-satunya supir DAMRI yang bisa saya ingat sampai saat ini karena tingkah laku dan dandanannya yang cukup nyentrik kala itu. Usianya sudah separuh baya, tapi masih menggunakan sebuah tindikan di telinga kiri bagai anak muda yang gemar nongkrong di Dago sore hari sambil menenteng skateboard.



Hampir setiap harinya selama sekitar 58 bulan saya merupakan pelanggan setia jenis transportasi kota ini sehingga saya dapat mengenali bapak supir DAMRI yang satu ini. Bukan sebuah kebetulan saya rajin berkendara dengan DAMRI, tapi kendaraan ini adalah satu pilihan ekonomis dibandingkan angkutan kota untuk mencapai tempat saya berkuliah di daerah Setiabudi Bandung. Asap hitamnya yang pekat menjadi ciri khas yang membuat motoris enggan berada di belakangnya. Dulu, tak banyak armada DAMRI yang menggunakan AC, sehingga saya lebih banyak mendapatkan DAMRI kelas ekonomi yang tariff jauh/dekatnya hanya Rp.1.200,-.


Biasanya saya selalu memberhentikan DAMRI di perempatan Astana Anyar-Pagarsih. Memang butuh lebih banyak effort untuk naik DAMRI ke kampus, selain saya harus berjalan kaki sekitar setengah kilo dari rumah, saya harus menyisihkan spare waktu lebih untuk menunggu DAMRI melintas agar tidak terlambat mengejar kelas perkuliahan. Karena saya selalu naik DAMRI di tengah rute, otomatis armada yang saya naiki selalu sudah dalam kondisi penuh, bahkan tak jarang saya harus nangkel terlebih dahulu di pintu masuk sampai beberapa KM. Setelah saya dapat masuk ke bagian dalam bis, perjuangan tetap belum berakhir dengan sesaknya penumpang di bagian dalam, namun disinilah ceritanya dimulai.

Tentunya setelah titik saya naik, hanya sedikit saja penumpang yang bakal naik di rute menuju Terminal Ledeng. Kalaupun ada yang mengarah ke daerah Bandung Utara, biasanya lebih memilih angkot untuk berkendara dengan alasan sudah dekat dengan tujuan, serta karena tariff jauh-dekat DAMRI sudah tidak terlalu berpengaruh. Kalangan-kalangan yang sepatutnya didahulukan untuk duduk pun sudah mendapatkan posisi yang layak semua, artinya tinggal perjuangan saya dan para pemuda yang menggantungkan lengan di palang besi untuk bersabar berdiri di tengah kemacetan sampai tempat tujuan atau mencari strategi untuk mendapatkan tempat duduk saat setiap ada penumpang turun. Dan Saya, lebih menyukai alternatif yang kedua.
Saya lebih menyenangi masuk dari pintu depan, karena begitu masuk saya dapat melihat hampir keseluruhan kondisi bis dan wajah penumpang yang berada di dalamnya. Seminggu pertama rutinitas saya naik DAMRI, tak banyak yang saya pikirkan, hanya mulai merasa DAMRI ekonomi ini bagaikan sebuah akuarium berjalan dengan ikan kelebihan muatan di dalamnya, dan kadang saya berpikir suatu hari bakal ada orang yang mati di dalamnya karena kehabisan napas atau terkena serangan jantung. Kaca-kaca jendela yang 100% transparan, membuat cahaya matahari dengan mudahnya masuk ke dalam tanpa tersaring, membuat kami ikan-ikan yang berada di dalamnya hanya tinggal menunggu matang menjadi hidangan. Duduk saja masih lumayan menderita kepanasan, apalagi saat harus berdiri sepanjang perjalanan menuju Terminal Ledeng. Sejujurnya dan sewajarnya sebagai manusia adakalanya saya merasa sakit hati saat melihat orang yang lebih belakangan naik DAMRI yang juga saya tumpangi mendapat tempat duduk terlebih dahulu karena berdiri tepat di samping orang yang akan turun. Disitulah saya mulai berpikir bahwa hukum ‘posisi menentukan prestasi’ juga berlaku di bis DAMRi. Ini soal bagaimana caranya saya dapat berdiri di samping orang yang punya kemungkinan besar akan turun dari DAMRI tersebut dalam waktu dekat.

Minggu berikutnya hari-hari saya bersama DAMRI Leuwipanjang-Ledeng sudah tidak pernah sama dengan sebelumnya, naik DAMRI sudah sama halnya dengan memainkan catur, bagaimana gerakan orang di sekitar bisa menentukan gerakan saya selanjutnya. Paling mudah menebak anak sekolah yang berada di dalam DAMRI, seragam putih-abu atau putih-biru yang khas, sudah dapat saya jadikan sasaran utama (ingat, bukan sasaran copet), sedangkan seragam putih-merah sangat jarang terlihat berada di dalam DAMRI. Sekolah Menengah Atas yang berada di jalur menuju daerah Setiabudi hanya SMAN 4, SMAN 6, SMAN BPK Penabur dan SMA Labschool UPI, nama terakhir tentunya sudah bukan menjadi pilihan, karena tujuan akhir mereka sama persis dengan destinasi saya akan turun. Siswa SMAN 4 dan SMAN 6 yang tak jauh lokasinya dari astana anyar menjadi tujuan utama saya untuk mendapatkan tempat duduk setelah mereka turun. Wajah-wajah lelaki ataupun perempuan sebaya bertampang kucel, memakai t-shirt seadanya atau kadang berkemeja culun sambil menenteng tas selempang kecil pun sebaiknya dilupakan dari incaran, karena mereka hampir dapat dipastikan merupakan seorang mahasiswa di salah satu kampus di daerah Jalan Setiabudi. Tipikal penampilan tersebut nyata adanya kecuali tampilan mahasiswa jurusan pariwisata tentunya, tipe ini akan terlihat dandy dan perlente dengan seragam blazer serta lebih sedikit grooming. Kebetulan area kampus di rute ini terpusat di daerah destinasi akhir di Jalan Setiabudi, sehingga lebih mudah diidentifikasi tujuan perjalanannya.

Destinasi lain yang menjadi titik dominan destinasi  orang turun dari DAMRI Leuwipanjang-Ledeng adalah RSHS atau Rumah Sakit Hasan Sadikin, atau orang juga mengenalnya sebagai Rumah Sakit Rancabadak. RSHS merupakan rumah sakit BUMN satu-satunya di Kota Bandung,status kepemilikan rumah sakit ini membuat biaya pelayanannya sedikit lebih murah karena banyak mendapat bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu banyak pula pasien dari kota-kota tetangganya Bandung yang dirujuk ke rumah sakit ini. Pasien rujukan yang menuju RSHS ini pun mudah dikenali, karena mereka bukan pengguna rutin DAMRI jurusan ini, pakaian dan barang bawaan mereka pun sedikit tak biasa. Beberapa cukup jelas terlihat dengan menenteng sebuah amplop atau map yang bertuliskan nama RSHS itu sendiri atau nama seorang dokter yang tertuju. Kebanyakan diantara mereka menggunakan pakaian yang sebetulnya sederhana, namun cukup rapi untuk dipakai beraktivitas rutin menggunakan bis Damri, contohnya seorang bapak yang menggunakan kemeja batik dan kopeah di kepala atau seorang Ibu dengan kebaya model jadul dan menggendong anaknya menggunakan karembong. Kadang terlihat jelas pula bahwa salah satu diantara mereka sedang tidak sehat dan perlu diantar, maka dari itu tipe penumpang ini tidak pernah bepergian sendiri, minimal berdua.

Tipe penumpang lainnya yang bisa ditemui di Damri Leuwipanjang-Ledeng adalah SPG (Sales Promotion Girl), tipe yang satu ini tentunya berias sedikit menor, dengan lipstick merah menyala dan bulu mata lentik terpasang. Rias muka yang cukup menarik perhatian ini tentunya berlawanan dengan pakaian yang digunakannya, tipe ini selalu menggunakan sandal teplek dan sebuah jaket hoodie atau parasite. Sangat berlawanan dengan pakaian kerjanya? Ya tentu saja itu yang dikenakan mereka saat menggunakan DAMRI, apa kita berharap mereka naik damri dengan kemeja rapi serta high heels-nya? Tipe SPG ini punya beberapa kemungkinan destinasi yang dituju, yang pertama Mall Istana Plaza, serta Borma dan Griya Setiabudi.

Selain tipe penumpang yang sudah disebutkan, tentu saja ada juga yang dapat naik turun bis DAMRI secara gratis. Pengamen dan penjual barang dagangan sudah pasti, bila kedua tipe ini sudah mulai masuk ke dalam bis, beberapa penumpang yang sudah duduk akan berpura-pura tertidur agar tidak perlu melayani sang penumpang gratisan. Kadang pengamen yang memang sudah berpengalaman dan mengetahui para penumpang yang berpura-pura tidur, akan menyisipkan lirik sindiran dalam sebuah lagu yang dibawakannya. Adakalanya orang cari uang di DAMRI itu tidak melalui berdagang ataupun menjual suaranya, karena ada juga seorang ustadz keliling memberikan dakwah dengan meminta sedekah seikhlasnya saat tausyiah singkat berdurasi 15 menitnya selesai. 

Bicara soal transportasi umum dimana orang dapat keluar masuk dengan mudah, tentu saja tipe penumpang yang punya maksud jahat pun tak dapat dihindarkan untuk berbaur di dalam DAMRI. Ada yang mengincar barang-barang berharga saat orang lengah. Ada juga yang melempar kentut tutup hidung di saat sempit. Bisa dibayangkan sebuah ruangan persegi panjang berukuran sekitar 12,5 x 2 m, berisikan 100 orang penuh sesak, diterpa panas matahari kemudian diisi gas beracun beraroma telur busuk? Sungguh saya pernah berpikir akan ada orang yang hilang nyawanya disana.

Enam tahun berselang dari kali terakhir saya naik DAMRI jurusan tersebut, di Bandung sudah jarang sekali saya melihat bis jurusan ekonomi, terutama yang mengarah ke Terminal Ledeng. Entah saya memang tidak melihat atau armada-armada lama tersebut sudah diganti dengan yang baru, dengan tempat duduk menyamping layaknya di KRL, yang tentunya dibutuhkan strategi berbeda saat naik DAMRI jenis baru tersebut. Ah yang jelas apa yang saya lakukan selama 4 tahun lebih bertransportasi menggunakan DAMRI jurusan Leuwipanjang-Ledeng ini hanya sebuah pengisi waktu luang saya saat berdiri di perjalanan menghadap berbagai macam wajah yang tentunya memiliki cerita dan latar belakang yang berbeda. Ada sedikit kepuasan layaknya mengikuti acara kuis, saat dapat menebak dengan benar dimana seseorang  akan turun di perjalanan. Suatu saat sepertinya akan sangat menyenangkan untuk mencoba kembali naik DAMRI yang konsepnya sudah baru, dan melihat apa yang bisa saya lakukan kembali saat saya naik DAMRI di jaman yang baru.

0 komentar:

Posting Komentar