Bakso dan gorengan. Dua jenis makanan yang paling banyak disukai oleh bangsa ini. Keduanya seringkali dijadikan santapan pengganjal makanan berat. Begitu pula kalau keduanya disatukan. Makanya, Bakso Goreng bisa menjadi salah satu jajanan yang bisa masuk ke lidah siapa saja dari seluruh penjuru Indonesia, tak terkecuali di Bandung. Buat orang Bandung yang memang udah bakat jajan dari lahir, ada satu kedai bakso goreng yang wajib buat dijajal terletak di kawasan Jl. Lombok, bernama Bakso Goreng Baginda.

 

Bakso Mekar Basreng Baginda

Lain daripada yang lain, Bakso Goreng Baginda punya ciri khas yang bikin rasanya beda. Teksturnya renyah tapi nggak keras. Bagian dalamnya justru empuk, padahal proses penggorengannya memakan waktu hingga 30 menit, dan menggunakan dua wajan yang berbeda. Tapi memang dari segi cara menggorengnya, si aanya di sini sungguh sabar dan konsisten menggunakan api kecil, sehingga bagian luarnya crispy, namun tidak sampai menjadi keras dan kering. Walaupun prosesnya memakan waktu setengah jam, buat yang antri nggak perlu nunggu lama, karena proses penggorengannya selalu dilakukan secara terus menerus menggunakan wajan ukuran besar, dan beberapa wajan sekaligus, kita hanya perlu menunggu sekitar 5-10 menit saja. Apabila beruntung, malah bisa langsung dapat.

 

Di Bakso Goreng Baginda terdapat dua pilihan bakso, yaitu bakso mekar dan bakso gepeng. Dari bentuknya yang berbeda bisa menghasilkan tekstur rasa yang berbeda pula. Kalau bakso mekar yang bentuknya cukup umum ini lebih empuk, sedang bakso gepeng yang menggunakan pangsit terasa lebih crispy karena ukuran ketebalannya yang tipis. Tapi keduanya sama-sama dijual dengan harga Rp4.000 saja per buahnya. Padahal rata-rata harga basreng (bakso goreng) di Bandung itu di Rp5.000 lho.

 

Selain soal tekstur dan bentuknya, Bakso Goreng Baginda juga punya komposisi yang khas, yakni memadukan secara langsung adonannya dengan daging ayam dan daging ikan tenggiri sekaligus, sehingga mengandung lebih banyak protein, juga terasa lebih berserat.

 

Nggak cukup sampai di situ, saus yang digunakan dalam penyajian basrengnya pun berbeda, lho. Bakso Goreng Baginda menggunakan saus asam manis yang rasanya mirip seperti sambal Bangkok, tidak pedas, namun segar di mulut.

 

Bakso Goreng Baginda ini disajikan dengan kemasan cukup premium menggunakan paper box, sehingga walau harganya terjangkau, level-nya ini sudah berbeda dibandingkan basreng lain pada umumnya. Ditambah, karena Bakso Goreng Baginda ini juga merupakan bagian dari grup Bakso Sultan dan Kopi Saring Sinar Pagi, kita juga bisa menyantapnya di area dine in yang cukup luas dan nyaman.

 

Nah, buat yang penasaran dengan renyah empuknya bakso mekar dan bakso gepeng bikinan Bakso Goreng Baginda, langsung saja merapat ke Jl. Lombok No. 30, Bandung. Spesial untuk Bakso Goreng Baginda, bukanya mulai dari pagi buta hingga malam hari. Jadi buat yang mau beli sebelum sekolah atau kerja, maupun yang baru sempat mampir sepulang beraktivitas, bisa tetap mampir ke Bakso Goreng Baginda.

Ada satu hal yang terlarang dilakukan di Bandung. Nyebut bala-bala pake istilah “bakwan”. Ibaratnya what happened in Jakarta, stay in Jakarta atau dari kota lainnya yang juga menyebut mix vegetable fritters sebagai bakwan. This is Bandung, bung! Berasa aneh aja ketika disebutkan bersanding dengan gehu, leupeut, dan cireng.

 

Menu sarapan khas Pontianak di Kopi Saring Sinar Pagi Bandung


Namun sepertinya ada pengecualian untuk jenis gorengan yang satu ini, Bakwan Pontianak. Bentuknya rapih bener, bulat sempurna, karena pake cetakan juga. Tanpa kol, tanpa wortel. Sehingga orang Bandung pun segan menyebutnya bala-bala, karena tampilannya sama sekali tidak bala. Ditambah taburan ikan teri di atas seolah ingin mempertegas identitas. Bakwan Pontianak lebih lembut, tebal, dan terasa sekali taste ikan teri yang membuatnya semakin jauh dari pakem bala-bala. Cemilan ini baru saya temukan beberapahari lalu Bersama deretan menu sarapan khas Pontianak lainnya di Kopi Saring Sinar Pagi yang berlokasi di Jl. Lombok No.30, Bandung (iya, ini tiga nama daerah dalam satu lokasi).

 

Sebelumnya, saya blank tentang menu sarapan di Pontianak seperti apa, tapi sepertinya cukup dipengaruhi budaya Melayu seperti berapa kawasan di Sumatra. Contohnya, Kopi Saring seperti yang ada di Aceh, dan Kopi Tiam lainnya. Tiam sendiri berasal dari Bahasa Hokkien, yang artinya kedai, dan biasanya punya hidangan pendamping yang khas pula, bukan croissant atau mille crepes tentunya, tapi seperti roti srikaya atau pisang goreng, yang memang kedua menu tersebut tersedia pula di Kopi Saring Sinar Pagi. Tapi kali ini, srikayanya saya pilih berada di atas pisang goreng crispy yang hangat. Sedang di rotinya, saya pilih Roti Nougat yang luar biasa empuk. Rasanya yang creamy manis Cocok dengan kopi saringnya yang pekat.

 

Selain dari kopinya, pengaruh Hokkien juga terasa di menu bakmie, choipan, dan wontonnya. Buat saya yang pecinta bakmie, Bakmi Ayam asinnya worth buy banget tuh. Cuma 15ribu, udah bisa dapet seporsi bakmie, dengan 2 pcs wonton yang beneran full ayam di balik pangsitnya. Bakmienya sendiri tipenya tipe yang tipis dan kenyal, sehingga terasa ringan di mulut, dan semakin gurih dengan kuah kaldunya.

 

Wontonnya pun dapat dinikmati secara terpisah dari mie, dan bisa disantap Bersama chili oil yang super pedas. Dengan harga yang sama dengan bakmie, kita bisa dapat 5 pcs wonton. Namun buat yg nggak kuat pedas, harus waspada nih, lebih baik minta chili oil-nya terpisah dihidangkannya. Tapi kalau kepedesan, nggak perlu takut juga, teh tarik dingin siap mengademkan.

 

Nah, buat temen-temen yang berprinsip kalau tidak makan nasi sama dengan tidak makan, di Kopi Saring Sinar Pagi juga punya beberapa pilihan dengan nasi dan telur, ada Nasi Telur Pontianak, Nasi Telur Tuna, dan Nasi Ebi Daun Jeruk. Dari tiga menu ini, jelas Nasi Telur Pontianak pilihan menu yang paling bikin penasaran. Kalau sudah pakai nama daerahnya, itu berarti signaturenya dong. Nah dan ternyata, Nasi Telur Pontianak ini dihidangkan dengan ikan teri, sehingga aroma dan citarasanya khas didominasi asin gurihnya ikan teri, dikombinasikan dengan kecap manis. Sepertinya, ikan teri ini menjadi salah satu ciri khas kuliner Pontianak juga.

Suasana Sarapan di Kopi Saring Sinar Pagi

 

Dari harga menunya yang rata-rata di angka 10-20 ribuan, Kopi Saring Sinar Pagi bisa menjadi pilihan tempat sarapan di tengah kota Bandung yang sangat terjangkau, terutama buat para wisatawan lokal yang sedang bertandang bisa mampir. Karena dari Braga dekat, dari Dago dekat, apalagi dari Jl. Riau, bahkan dengan berjalan kaki pun 2-10 menit bisa sampai. Tapi saran aja nih buat temen-temen yang mau sarapan di sini, coba datang di sekitar pukul setengah 8 pagi, agar kondisinya tidak terlalu padat, juga agar suasana sarapan kita ditemani dengan hangatnya sinar mentari pagi yang menembus dari sela-sela gedung tinggi.

 

 

 

 


Nonton di hari premier, keluar bioskop, pulang ke rumah, buka laptop, gas nulis, upload sebelum tengah malam, spam postingan di socmed akun-akun film.

 

Begitu idealnya kalau ingin mendapat engagement & page view minimal seribu. Setidaknya empat tahun silam masih bisa begitu. Kini bisa posting setahun satu saja sudah syukur. Domainnya dibayar terus, blognya nggak keurus. Definisi real dibuang sayang.

 

Eh, jangankan nulisnya deng, nontonnya saja jarang-jarang. Tahun ini pun rasanya hanya tiga judul saja yang berhasil ditonton di bioskop, sisanya streaming via OTT, itu pun satu judul bisa dicicil sampai lima hari.

 

Dan akhirnya, di penayangan hari ke-17 film “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film” atau katanya bisa disingkat  saja jadi #jesedef, ulasan ini bisa rampung juga. By the way, saya akan tetap menggunakan “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film”, karena itu salah satu bagian penting dalam menulis ulasan seperti di akun-akun film, yaitu memanfaatkan SEO (Search Engine Optimization). Iya menulis kepanjangan SEO salah satu usaha SEO itu sendiri. Namun sebelum beranjak ke SEO, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat hook pada judul.

 

Baik ulasan tertulis, audio, maupun video, hook atau umpan, atau di dunia penulisan media populer zaman sekarang sering disamaartikan dengan “click bait” menjadi sangat penting agar audience mau melakukan action-nya dengan menekan tombol klik. Mau menyimak ulasannya sampai tuntas, itu perkara lain, yang penting mau baca dulu.

 

Apakah judul artikel ini cukup dapat menjadi hook yang menarik?

Buat saya, Iya.

Setidaknya, ketika judul ini terbesit dua pekan lalu, bahkan saat masih berada dalam studio bioskop.

 

Kalau sekarang?

Belum tentu. Belum diriset sih, tapi saya rasa akan ada satu atau dua reviewer yang akan menggunakan judul seperti ini untuk mengulas Jatuh Cinta Seperti di Film-Film setelah lebih dari dua pekan tayang.

 

By the way, tujuh paragraf lebih terlewati, marilah kita mulai ulasannya.

 

Iya, saya sengaja melakukan ini agar ada sedikit resemblance dengan salah satu scene film ini ketika judul film baru muncul di menit ke-20, lalu dibahas langsung pula dalam adegan oleh Bagus (Ringgo Agus Rahman) dan Pak Yoram (Alex Abbad). Jelas lah ini spoiler, tapi masalahnya tidak ada cara lain untuk mengulas film ini dengan baik tanpa spoiler sedikit pun. Mudah-mudahan kamu yang sudah baca sampai sini sudah membaca peringatannya dulu di judul. Jadi gimana? Ganggu nggak? :D

 

Sama dengan yang saya coba lakukan di artikel ini yang entah berhasil atau tidak tapi jelas sulit untuk menyamai, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film memuat dialog yang seolah pikiran penonton tentang film ini dikuliti dan dijabarkan dengan gamblang, hingga komentar seperti “iya, lagi”, “kok bisa ya”, pun bermunculan di kepala. Nggak salah kalau katanya film ini disiapkan hingga delapan taun lamanya sampai bisa diproduksi. Selain naskahnya yang perlu dimatangkan, produser pun perlu diyakinkan. Dan hal itu tercermin pula dalam adegan-adegan diskusinya Pak Yoram dan Bagus yang berlapis-lapis bak Inception, sampai dibuat berpikir, “filmnya jadi yang mana?”. Diperkuat signature line Dion Wiyoko yang kerap berkata, “jadi ini beneran?” yang justru makin membuat berpikir yang mana adegan film ini yang sebenarnya. Lama-lama nyari gasing juga nih, buat mastiin Limbo atau bukan.

 


Soal cerita, kayanya justru nggak perlu diceritain, karena kalau diceritain jadinya sinopsis bukan ulasan. Tapi yang gila sih ternyata ada sekilas pre-story yang dimunculkan di music video Yura Yunita – Sudut Memori dan Donne Maula – Bercinta Lewat Kata yang memang menjadi original sound track Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. Kedua music video ini sudah terlebih dahulu diluncurkan sebulan sebelum penayangan film. Entah bagaimana perasaan orang yang sudah menonton video klipnya duluan, tapi saya yang baru tau seminggu setelah nonton filmnya kerasa banget magisnya film ini. Bisa-bisanya bikin film yang nyelipin cerita penting justru di luar filmnya. Yakin deh, 500.000+ penonton filmnya belum semua juga nonton MV tersebut. Ditambah kalau nonton music video “Tenang” dari Yura Yunita juga yang tayang sejak dua tahun lalu. BOOM. Pemeran masih Ringgo Agus dan Nirina Zubir dengan potongan rambut seperti di film. Kalau yang ini nggak langsung nyambung sih, tapi tetep berasa terkoneksi dengan #jesedef, layaknya seperti melihat sequel filmnya, dan cukup membuat tersenyum.

 

Film hitam putih nggak pernah jadi masalah buat saya, Pleasantville dan Schindler’s List saja bisa dibabat habis. Tapi tanpa sinopsis jelas yang tercermin di dalam trailernya, sebetulnya nama Yandy Laurens di jajaran naskah dan sutradara sudah menjadi premis yang menarik buat saya. Fantasi dan hati menjadi dua aspek yang hampir selalu ada di film dan series besutannya, selain Dion Wiyoko dan Sheila Dara tentunya. Dua hal yang sepertinya sulit disatukan, tapi bisa-bisanya sukses ia leburkan. Time travel lah, bisa telepati, jadi transparan, hingga sebuah cerita yang story-ception berlapis-lapis seperti Jatuh Cinta Seperti di Film-Film.

Baca juga: Yandy Laurens Dan Roman Fantasi Yang Dibalut Dialog Hati

Namun fantasi baginya nampaknya hanya sebuah packaging untuk cerita intinya yang selalu bicara soal hati dan perasaan yang mendalam. Itulah mengapa di dalam karya-karyanya selalu ada take yang dibangun dengan dialog antar karakter yang lumayan panjang. Pelan, dan sesekali diberi jeda, tapi cukup membuat kita menarik nafas dan hanyut. Karakter Hana yang diperankan Nirina Zubir cukup banyak memperlihatkan momen-momen seperti ini, sampai berasa ikutan nyesek dengan kehilangan dan kekesalannya. Dan Ringgo just being Ringgo, entah kenapa seperti melihat kembali Agus di Jomblo (2006). Polos dan komedik. Sama-sama berjuang untuk cinta, tapi tidak dengan dialek Sunda.

 

“Ini film komersil kan, Gus?”, begitu tanya Pak Yoram. Dan memang komersil, makanya bisa mencapai setengah juta penonton. Namun sepertinya agak berat untuk mendapat enam angka nol di belakang angka satu, karena sulitnya unique selling point yang bisa diceritakan dalam trailer tanpa memberi spoiler, juga sulitnya mengedukasi pasar yang lebih menyukai film horror, juga memang pada pertengahan Desember ini mulai digempur Siksa Neraka. Lucunya, waktu keluar dari bioskop, memang realita memperlihatkan poster film ini bersanding secara head to head dengan sebuah film horror yang kemungkinan akan mencapai satu juta penonton.

 

Tapi segini juga udah uyuhan. Kalau kata bos saya, “good product sell itself”. Saya menyimak sendiri bagaimana film ini kemudian jadi perbincangan di social media dan memberi pengaruh word of mouth yang kuat, setidaknya di lingkaran saya, namun memang tetap tidak bisa merayu pasar mayoritas. Padahal, seandainya tipe film seperti ini bisa lebih banyak ditonton, bisa dibayangkan bagaimana makin beragam dan kreatif film-film Indonesia yang tayang dalam satu waktu.

Dinding merah, pohon bambu, guci antik, dan segelas mocktail. Jelas ini bukan “Kamar Nenek” yang ada dalam benak. Kamar nenek saya tidak sengejreng dan se-estetis itu, serta suguhannya pun tidak mungkin mocktail, paling banter biasanya teh manis hangat. Tapi setidaknya, tegel tanah liat ukuran 20 x 20 berwarna abu tua sama persis dengan yang ada di rumahnya, juga sofa unik bermotif merah-biru kasur kapuk yang khas bikin Kamar Nenek Bar & Kitchen terasa nuansa homey-nya.

 

Sudut Manekineko di Kamar Nenek

Dari desain ruangan-ruangannya, memang terlihat bahwa Kamar Nenek Bar & Kitchen ini menghadirkan Kamar Nenek dari Negeri Tiongkok. Selain dekorasi yang serba merah bak menjelang imlek, pohon bambu, ukiran, serta deretan manekineko (patung kucing pemanggil rezeki) ini membuat suasana Chinese­-nya sangat kental.

 

Uniknya, justru menu-menu mocktail yang disajikan terasa sangat local dan nyunda. Contohnya saja Lembang Sunrise, Salju Tanah Sunda, Sinar Remboelan, Kembang Desa, Bujang Lapuk, dan Neng Geulis. Dari namanya saja cukup menggelitik rasa penasaran untuk segera menjajalnya. Walaupun begitu, komposisi dari menu-menu tersebut dijelaskan pula di bawah namanya. Contohnya “Kembang Desa” yang saya coba ini menggunakan campuran rosella, mawar, lemon, dan tonic water. Kalau pernah coba teh rosella, biasanya si rosella ini yang bikin rasa teh agak masam dan sepet. Tapi rasanya jadi nge-blend ketika dicampur dengan masamnya lemon dan segarnya tonic water. Mata ngantuk dijamin langsung melek.

 

Hell's Chicken Lollipop & Kembang Desa Mocktail

Selain deretan menu mocktail yang segar dan variatif, Kamar Nenek juga tentunya menawarkan side dish yang nggak kalah sedap untuk menemani waktu nongki-nongki kece. Mulai dari yang local seperti pangsit goreng, sampai Hell’s Chicken Lollipop yang sausnya super unik.

 

Kalau masih kurang kenyang, nggak perlu khawatir, karena masih banyak pilihan menu makanan berat yang bukan hanya porsinya banyak, tapi dari segi rasa itu top. Menu-menu yang disajikan kualitasnya hotel berbintang, contohnya Nasi Bistik Nenek dan Beef Rigatoni.

 

Ruangan Serba Merah di Kamar Nenek

Kamar Nenek Bar & Kitchen ini terletak di Jl. Cipaganti / Jl. R.A.A Wiranatakusumah N0.150-152, tepat di belakang Frances Hotel, dan satu area dengan Sama Dengan Coffee Cipaganti Bandung. Nah, lokasi Kamar Nenek berada di lantai 2 Sama Dengan Cipaganti. Buat harganya sendiri masih di kisaran 30K-90K. Nongkrong berdua cuma butuh dua lembaran merah muda.


Baca juga: Sama Dengan Cipaganti Bandung, Café Tersembunyi Yang Cocok Buat Nyepi

Sedekade lalu, mana ada orang mau masuk ke café atau restoran yang di dalamnya ada “tengkorak” dan ketemu “hantu”. Nah sekarang, hampir tiap café coba mendatangkan “makhluk-makhluk halus” tersebut, karena memang pengunjungnya justru kepengin melihat sampai dengan foto-foto. Lah, gimana tuh? Tentunya yang dimunculkan si empunya resto bukanlah makhluk-makhluk asli, tapi ornament hingga riasan untuk menampilkan dan meramaikan event Halloween yang jatuh pada akhir Oktober ini. Tak terkecuali Café Sama Dengan Cipaganti di Bandung yang sampai membuat “pocong” untuk menemani pengunjungnya menyantap hidangan.

Salah Satu Ruangan di Sama Dengan Cipaganti

Sudah suram, tambah seram. Sekitar empat bulan silam saya menemukan Café Sama Dengan Cipaganti yang tersembunyi di belakang Hotel Frances yang tentunya berada di Cipaganti pula. Café ini menyulap bangunan rusak, menjadi tetap rusak, tapi dengan gaya :D. Lubang di dinding jadi jendela, karat di pintu jadi pesona. Beberapa mungkin terlihat disengaja, tapi terlihat pas dan sangat oke sebagai pencipta suasana.


 Baca juga: Sama Dengan Cipaganti Bandung, Café Tersembunyi Yang Cocok Buat Nyepi


Jauh sebelum tema hehantuan, Sama Dengan Cipaganti ini sudah lebih dulu punya vibes Halloween yang mendukung. Ornamennya kini menjadi penyempurna keseraman paripurna. Bukan cuma soal ornamen, pramusaji yang membantu pelayanan pengunjung di sini pun berdandan ala makhluk gaib dalam film-film setan. Mata hitam yang jelas bukan dibuat untuk kesan kurang tidur, serta biru lebam yang tentunya bukan dibuat untuk memberi kisah kepeleset di toilet.

 


Banyak café yang asyik buat nongkrong, tapi hidangannya kureng. Lalu ada juga yang tempatnya biasa saja, tapi taste makanannya mantap. Tapi jarang ada café yang punya keduanya, seperti Sama Dengan Cipaganti. Asyik dan berasa. Soal harga menu tentunya bervariasi, tapi soal kualitas hidangan menang mutlak.

 

Kali ini saya mencoba sajian Tempong Iga. Walaupun seumur hidup berada di Pulau Jawa, baru kali ini saya tau dan tentu baru kali ini juga berkesempatan mencicipinya. Jadi Tempong ini adalah menu komplit nasi yang dihidangkan dengan lalab-lalaban dan sambal. Untuk lauknya bisa bervariasi, mulai dari ayam, ikan, hingga iga sapi.

 

Tempong Iga Ala Sama Dengan Cipaganti

Keistimewaannya Tempong Iga punya Sama Dengan Cipaganti ini so pasti ada di daging iganya yang super lembut. Ajaibnya, iga yang dihidangkan penuh lemak ini tidak sampai menempel di mulut dan membuat rasa tidak nyaman. Sangat halus, dan pecah di lidah.

 

Selain Tempong, ada banyak menu tradisional Nusantara lainnya di Sama Dengan Cipaganti, seperti Nasi Goreng, Mie Godog, Soto, dan Baso. Ada pula menu utama ala western seperti Cordon Bleu, dan Spaghetti, tapi terlihat sekali sajian menu Indonesia lebih mendominasi di halaman daftar menu main course. Untuk harga menu utamanya sendiri dimulai dari 50ribuan, sehingga dengan minum dan cemilan, kita cukup merogoh kocek sekitar 90-100ribu per orang.

 

Kalau bicara asal muasal, tentunya tema Halloween ini tidak akan pernah bisa ditemukan keterkaitannya dengan budaya di Indonesia. Tapi kalau soal seru-seruan dan seram-seraman, orang Indonesia ini terdepan, lho. Mulai dari film sampai makanan. Kue saja bisa dirias ala kuburan, dan pernah hits pada zamannya. Jadi, mau mencoba merasakan suasana Halloween yang berbeda di Sama Dengan Cipaganti? Cuss ke Jl. Cipaganti (Jl. R.A.A Wiranatakusumah) No. 150-152, Bandung.

 

Beberapa Ornamen Halloween di Sama Dengan Cipaganti 

Genap dua tahun dua bulan dari kunjungan terakhir ke Zest Sukajadi Hotel Bandung, kini hotel yang punya ciri khas warna hijau segar ini punya fasilitas baru, lho. Clementine Rooftop yang berada di lantai 9, sekarang dilengkapi dengan sebuah bar bernama Lantai 9 Rooftop Bar. Gampang disebut dan gampang diingat.

 

Lantai 9 Rooftop Bar Zest Hotel Sukajadi Bandung

Nah, sebelum ada Lantai 9 Rooftop Bar, selama dua tahun ini lantai 9 Zest Hotel Bandung sudah jadi salah satu wedding venue populer di Bandung. Karena selain desain tempatnya yang asik, pemandangannya juga keren abis. Lokasi Zest Hotel yang berada di tanjakan menuju Bandung Utara ini membuat lokasinya lebih tinggi dari rooftop building lainnya di pusat kota. Ditambah, hanya sedikit bangunan tinggi lain yang berada di dekatnya, sehingga, pemandangannya sangat clear untuk langsung melihat cityscape Kota Bandung luar biasa, atau megahnya Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Perahu di utara sana.

 

Satu nilai plus lainnya, Lantai 9 Rooftop Bar ini langsung menghadap ke arah barat, pas banget buat menikmati sunset dengan ditemani segelas minuman segar. Buat yang non-alcoholic drinker, tenang saja, saya pun sama, tersedia pula pilihan minuman non-alcohol di sini, dengan harga terjangkau.

 

Agar dapat melihat keindahan matahari terbenam, kita bisa datang mulai jam bukanya sejak pukul 4 sore sampai pukul 10 malam. Terbuka buat umum juga, bukan cuma untuk tamu hotel, lho.

 

Buat yang cari tempat buat meet-up atau spot buat beresin report kerjaan, Lantai 9 Rooftop Bar ini juga cocok banget, karena tempat duduknya nyaman, tersedia juga bean bag, serta full access wi-fi. Dan buat weekend, lebih special lagi nih, karena bakal ditemenin live music sepanjang waktu.

 

Lantai 9 Rooftop Bar
Zest Sukajadi Bandung
Jl. Sukajadi No. 16, Bandung 40161
(022) 8260 2060

 

 

Sama Dengan.

Ini dia café yang ngegantung. Jadi Sama Dengan apa? Nggak ada variable x dan y-nya? Tapi di samping namanya yang agak disturbing, rustic café yang terletak di bilangan Cipaganti, Bandung ini, enak banget buat nyepi. Padahal, lokasinya di tengah kota dengan jalur yang terkenal padat. Jadi ternyata, walau akses masuknya dari pinggir jalan besar, letak bangunannya ada di samping agak ke belakang dari sebuah bangunan hotel Bernama Frances yang mencolok dengan tampilan klasik khas bangunan cagar budaya peninggalan Belanda.

 

Ruang Utama Sama Dengan Cipaganti Bandung


Walaupun agak tersembunyi, tak sulit menemukannya, the real size of Younghee doll a.k.a boneka cewe raksasa dari Squid Game menandai pintu masuk ke arah Sama Dengan Café. Ditambah, tanaman yang dibiarkan tumbuh menjulur bebas di dinding, memberi satu ciri khas lain dari tempat ini yang mudah diingat.

 

Abandoned house atau dengan kata lain “reruntuhan” menjadi konsep yang diusung café yang punya empat cabang tersebut. Beberapa sudutnya jelas memang terlihat rusak secara alamiah tergerus waktu, walau beberapa sudut lainnya nampak sengaja dibuat rusak secara fungsional, sehingga bisa diletakkan kulkas, atau menjadi jendela komunikasi antar ruang. Beberapa lubang di atap juga bisa memberikan cahaya natural yang indah di antara meja yang kita tempati.

 

Lubang di Dinding Menjadi Jendela di Sama Dengan Coffee Cipaganti


Beberapa goresan seni gambar yang “gelap” juga dapat ditemui di hampir setiap ruang. Sehingga, semuanya terasa senada. Walaupun begitu, furniture yang dipakai justru sangat modern dan cantik, sehingga menimbulkan kontras yang artistik.

 

Di luar dugaan, café yang saya datangi pagi itu sangatlah luas. Sekitar tiga kali lipat dari bayangan saya di awal. Mungkin kalau penuh, kursi-kursi ini dapat terisi hingga 80 orang, tapi tetap terasa nyaman. Karena jarak antara meja satu dengan yang lainnya tidak terlalu dekat. Tapi kalau saya sih akan tetap prefer mendatangi Sama Dengan Cipaganti Bandung ini pada jam-jam santai pagi hari, vibe-­nya menyenangkan sebagai tempat untuk kabur sejenak dari riuhnya aktivitas.

Konsep Sama Dengan Cipaganti Bandung Bertemakan Abandoned House

Bukan hanya karena suasananya, Sama Dengan Cipaganti Bandung juga cocok jadi tempat nongkrong pagi hari karena secangkir kopi gratis siap meluncur ke meja setiap pembelian menu breakfast. Paket hemat buat para sobat kafein hangat.

 

Dari menu Sama Dengan Breakfast (btw ini nama menu ya), Egg Benedict, dan Chicken Breast Quesadillas, pilihan jatuh ke Egg Benedict yang memang belum pernah saya jajal. Buat saya yang pecinta berbagai olahan telur, tentu saja ini menjadi pilihan yang mutlak dipilih. Kalau dari segi tampilan dan rasa, Egg Benedict ini kelasnya sudah seperti buatan hotel berbintang, mevvah banget, tapi worth it. Dengan harga 50ribuan suda dapat satu menu sarapan gratis secangkir coffee latte. Selain menu sarapan ala western, sebetulnya banyak sekali pilihan menu makanan tradisional yang menarik untuk diicip di lain kesempatan, seperti Nasi Goreng Kecombrang, Soto Ayam, dan Mie Godog Jogja.

 

Egg Benedict, Salah Satu Menu Breakfast di Sama Dengan Cipaganti Bandung dengan Kopi Gratis

Overall, Sama Dengan Cipaganti adalah tempat yang akan saya datangi kembali ketika mencari tempat untuk me time, menyepi dari segala kegaduhan, membawa buku yang harus ditamatkan, atau menyelesaikan sales report mingguan.

 

Tips buat yang tertarik mampir, jangan coba-coba lirik kanan-kiri di jalan sambil mencari plank “Sama Dengan”, dijamin nggak akan ketemu. Lokasinya yang tersembunyi, memang menjadi value tersendiri dari café ini. Cari saja di Jl. Cipaganti / Jl. R.A.A Wiranatakusumah N0.150-152, tepat di belakang Frances Hotel.

 

“Wujud tertinggi dari mencintai sesuatu adalah dengan mempersembahkan karya.”

 

Satu kutipan dari Eva Sri Rahayu yang langsung tersimpan di hati dan kepala dari sesi perbincangan malam itu.

 

Saya jadi teringat Taj Mahal yang dibuat Shah Jahan sebagai pertanda cinta untuk mendiang istrinya, atau Bandung Bondowoso yang menyanggupi mendirikan 1.000 candi dalam satu malam demi cintanya pada Roro Jonggrang.

 

Memang kalau sudah cinta, apa saja bisa diperbuat dengan caranya sendiri. Termasuk yang dilakukan Eva dengan kecintaannya terhadap dunia penulisan, serta sejarah dan budaya Indonesia melalui karya tulis terbarunya yang berjudul Labirin 8. Pembelajaran dan riset yang panjang ia lalui untuk melahirkan “anak” bungsunya tersebut.

 


Perjalanan Eva Sri Rahayu di Dunia Penulisan

Saya pribadi mengenal Eva melalui saudari kembarnya Evi dalam sebuah tour sejarah, yang juga sempat berkarya tulis fiksi berlatar sejarah dan budaya. Kebetulan keduanya hadir pula secara langsung pada acara IG Live Bincang MIMDAN #8 (Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara) yang digagas oleh PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia). Pada kesempatan tersebut, Eva Sri Rahayu hadir sebagai narasumber, sedangkan Evi Sri Rezeki tampil sebagai host.

 Pandi lewat Program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN)

Dalam program live yang bertemakan “Sejarah dan Budaya dalam Novela Platform Digital” ini, Eva menuturkan langkah pertama dalam perjalanannya di dunia penulisan diawali dengan membuat komik saat masa taman kanak-kanak, lalu membuat majalah saat sekolah dasar, membuat cerpen saat sekolah menengah, lalu membukukan karya pertamanya, hingga kini aktif menulis novela di platform digital.

 

“Saya tuh ingin menjalani sejuta kehidupan”, tutur Eva. “Maka dari itulah saya menjalaninya dengan cara menulis berbagai cerita”.

 

Walaupun begitu, jalannya tidaklah mudah. Cerpen-cerpen yang ia tulis saat SMA tidak ada yang diterima satu pun oleh penerbit. Baru lah ketika masa kuliah, jalannya tersebut mulai terbuka melalui novel Panjang yang ia tulis.

 

Dalam dunia penulisan, salah satu tokoh penulis yang paling berpengaruh baginya adalah Margareth Mitchell, penulis yang dikenal dengan novel legendaris Gone With The Wind. Ah..saya sendiri baru tahu kalau film popular tersebut diangkat dari sebuah novel. Sampai saat ini kita bisa menemukan nama Gone With the Wind di google sebagai rekor film yang paling banyak ditonton. Padahal usia film tersebut sudah hampir mencapai 90 tahun. Selain itu, ia juga menyukai Percy Jackson yang ditulis oleh Rick Riordan. Saya rasa dua judul tersebut cukup menggambarkan Eva sebagai orang yang senang berfantasi. Walaupun begitu, ia mengaku tokoh-tokoh idolanya tersebut tidak mempengaruhi gayanya dalam bertutur.

 

Labirin 8

Melalui fantasi dan imajinasinya, lalu lahirlah Labirin 8, sebuah novel fiksi berlatar ruang bawah tanah Candi Borobudur! Bisa dibayangkan bukan bagaimana serunya novel ini? Karena ternyata, Candi Borobudur memang memiliki ruang rahasia yang tak dapat dimasuki oleh pengunjung, dan Eva menuangkannya melalui kisah petualangan yang ia berhasil rampungkan hanya dalam waktu dua bulan penulisan.

 

Walaupun novel fiksi, latar sejarah dan fakta budaya yang ia gunakan betul-betul melalui riset panjang. Jadi dapat dipastikan info dan nilai yang ia sampaikan bukan sekadar tempelan. Karena menurut Eva, di sinilah indikator keberhasilan novel fiksi berlatar sejarah dan budaya, lokasi dan fakta betul-betul digunakan sebagai penggerak cerita.

 

Selain Borobudur, Labirin 8 juga mengambil latar tempat di Candi Liangan dan Mata Air Jumprit yang memang betul-betul nyata keberadaanya di bumi Nusantara. Dua nama tempat lainnya cukup menggelitik, karena saya pribadi baru pertama kali mendengar keduanya. Ah..rasanya akan sangat menarik menyelaminya.

 

Diceritakan singkat oleh Eva bahwa Labirin 8 berkisah tentang delapan orang yang terjebak di ruang rahasia candi Borobudur. Agar dapat keluar, mereka harus menyelesaikan teka-teki dengan menyelidiki relief-relief candi untuk keluar.

 

Dalam pembuatan novel ini, selain terjun langsung ke lapangan, Eva juga mengikuti banyak webinar, mengumpulkan dan memilah data, memeriksa fakta, dan hingga ke tahap akhir, yaitu penyusunan kerangka penulisan cerita yang terdiri dari premis, synopsis, dan struktur plot. Plot ini sangatlah penting, karena harus rapi, dan dipastikan agar jangan sampai ada plot hole.

 

Bagi Eva sendiri, sejarah dan kebudayaan adalah tempat ia bangkit, setelah mengalami konflik batin dan berada di titik nadir. Keindahan falsafah yang melekat dalam kebudayaan mengajarkan banyak hal, dan memberikan kehidupan baru bagi dirinya.

 

Platform Penulisan Digital

Saat ini, Eva juga giat menulis di platform digital yang banyak berkembang. Menurutnya, penulis di platform digital ini bisa sangat menantang. Karena kalau menulis novel cetak biasanya ia harus menyelesaikan keseluruhan cerita terlebih dahulu. Namun di ranah digital penulisannya bisa dikejar satu bab per minggu oleh editor. Menariknya lagi para pembaca bisa ikut memberi saran atas alur cerita yang sedang ditulis. Selain itu, kita juga sebagai penulis dapat langsung membaca respon atas cerita yang baru diselesaikan.

 

Walau tergolong baru bagi sebagian orang, namun platform digital ini punya segmen tersendiri. Setelah ceritanya sudah rampung, bisa juga untuk kemudian dibukukan melalui penerbit. Platform digital juga bisa cukup cepat membuat penulis lebih dikenal dan memiliki reputasi.

 

Sesi bincang MIMDAN malam itu ditutup Eva dengan sebuah kalimat bahwa “Ide dan gagasan datang ke kita, karena mereka percaya, kita bisa mewujudkannya, dan diharapkan ketika orang membaca sebuah karya, ia dapat menjadi pribadi yang baru. Seperti saya yg menemukan jati diri dari sejarah dan budaya.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Iya, jajan. Sejak kami memutuskan pergi ke IKEA Kota Baru Parahyangan Bandung. Kami sudah menjuduli perjalanan ini dengan “jajan” bukan “belanja”. Mungkin itu pula yang ada di benak ribuan orang lainnya yang mendahului kami bertandang ke sini. Bukan tidak cukup menarik, tapi setidaknya untuk saat ini, saya dan istri bukan segmen brand tersohor dari Swedia ini.

 



Kurang lebih 22 Km atau sekitar satu jam berkendara roda dua dari kediaman. Namun jelas pernyataan ini bukan sebuah pilihan, mengingat anggota keluarga kami yang ketiga baru genap tujuh bulan usianya. Karena roda empat belum dipunya, maka moda massal menjadi opsi tunggal.

 

Berkereta sebetulnya bisa jadi alternatif yang bisa memotong durasi perjalanan menjadi cepat, namun menjadi tidak ekonomis karena harus meneruskan perjalanan dari stasiun dengan taxi online.

 

Hasil pencarian kami di mesin pencari menggerakan algoritma hingga muncul “bisikan” kalau dengan bus teranyar Dishub, yakni Trans Metro Pasundan (TMP), niscaya langsung sampai parkiran. Rupa-rupanya kerja sama TMP dengan IKEA ini kece bener. Tak heran, dari semua armada TMP yang rehat di Halte Alun-Alun Bandung, hanya TMP jurusan Kota Baru Parahyangan yang waktu ngetemnya tidak sampai 2 menit. Penumpang berjubel, tapi dengan sigap berhasil dibatas oleh petugas. Bukan cuma karena tujuannya yang hits, tapi juga karena hingga saat cerita ini ditulis, biayanya masih nol alias gratis. Asalkan, aplikasi smartphone Teman Bus ataupun kartu uang elektronik ada di tangan. Walaupun tidak akan sampai mengurangi saldo.


Naik Trans Metro Pasundan Dapat Menggunakan E-Money

Bus yang penuh terbilang masih dalam tahap nyaman. Hanya sekitar tiga orang yang menggenggam hanger, termasuk saya. Sementara istri dan anak tentunya mendapat kursi privilege. Untungnya tidak seperti naik DAMRI di medio pra-2010. Bus penuh pun, Anda tetap bisa bergelantungan di pintu yang dibiarkan terbuka. Maka jangan tanya dari mana datangnya kekuatan generasi sandwich menghadapi tekanan dari berbagai sisi. Kami sudah biasa menggantungkan hidup pada 3-4 jari tangan di sela-sela semerbak bau ketiak.

 

Saat bus berjalan, saya memilih melepas hanger dan bersandar ke kaca, sambil menyimpan kaki di antara tangga dan kap mesin yang rupanya sekarang sudah menyusut ukurannya. Istri saya heran, dia bilang bisa-bisanya saya berdiri di bus dengan bersandar saja, tanpa takut jatuh. “Pengalaman yang berbicara”, jawab saya singkat.

 

Dari posisi saya, dengan mudahnya saya dapat memindai siapa saja orang-orang yang naik, dan langsung bisa menyimpulkan kalau sekitar 80% orang yang naik berbarengan dengan kami memang punya tujuan akhir ke IKEA. Tau dari mana? Simple saja, dandanannya jelas seperti akan berwisata. Bapak-bapak bercelana chino pendek, berkaos polos, dengan sneakers bersama istrinya, tentu bukan ingin berobat ke RS Cibabat. Serta gerombolan remaja putri yang mungkin sudah mahasiswi menenteng tote bag, dan mengenakan bucket hat, tentu juga bukan ingin mancing di Situ Ciburuy.

 

Mushola IKEA Kota Baru Parahyangan

Nyaris satu jam berlalu tanpa kepadatan jalan yang berarti, kami tiba di halte Kota Baru Parahyangan yang jelas ueenak sekali untuk para supir bus beristirahat. Dari tempat mereka memarkirkan busnya, ada mushola yang walau terletak dekat parking lot dan hampir membuat saya menurunkan penilaian terhadap tempat ini, dalamnya ternyata estetik, bersih, dan sangat wangi. Ada air humidifier pula di pojok ruangan. Padahal, saat melihat lokasi pintu masuk mushola dari kejauhan, saya sudah membayangkan mushola kumuh nan sempit seperti di beberapa mall yang ada di Bandung.

 

Buat ukuran orang Bandung seperti kami yang tempat hangout-nya tidak secanggih tempat-tempat di SCBD ataupun area lainnya di Jabodetabek, IKEA ini menjadi portal masuk singkat ke dunia yang berbeda. Arsitektur cantik nan megah, vending machine every needs and everywhere, infografis dwilingual, dan yang paling mengejutkan sebetulnya, harga-harga jajanan yang murah, bahkan lebih murah dari kebanyakan menu café atau coffee shop di tengah Kota Bandung.

 

Salah Satu Signature Wall dari IKEA Kota Baru Parahyangan yang Sering Dipakai Latar Berfoto Pengunjung

Espresso 15.000, Ice Cream enam ribu, Aqua seliter delapan ribu. Jajan pake uang 20.000 ternyata masih bisa kembalian di sini. Padahal bayangan kami waktu berangkat tuh yaa siap-siap tiga lembaran merah muda meluncur keluar. Wajar kan ekpektasi jajan di Kota Baru Parahyangan yang notabenenya komplek orang berduit mah pasti keluar segituan. Etapi makan siang bertiga bisa seratus ribuan lebih dikit. Nggak akan dapet tah kalau jajan di café mah.

 

Jadi seratus ribu dapet apaan? Mari kita breakdown satu per satu! Nunggu ini kan sejak dari membaca judul?


Karena bawa si bayi, maka kami pun harus bijak memilih menu yang bisa dimakan bersama. Mulai dari tiga pcs paha ayam yang totalnya cuma Rp25.000, mohon maaf nih Sabana, Hisana, dan sajabana, yang ini lebih murah. Chicken drumstick ini bisa dinikmati dengan additional cheese sauce seharga hanya Rp5.000 yang rasanya lebih cheese dari yang jagonya cheese itu. Lalu kami juga menambahkan 1 pc tempura seharga Rp10.000 yang walau bisa lebih hemat kalau membeli 3, kami tetap membeli satu, soalnya saya alergi udang, jadinya istri cuma pesan 1, daripada nanti terbuang. Selain itu kami juga membawa ke meja seporsi salad seharga Rp10.000 dan mayonnaise-nya yang dijual terpisah seharga Rp4.000.


Untuk dessert, kami membawa egg tart yang filling-nya super soft dan thick seharga Rp10.000, sungguh lebih worth buy ketimbang beli yang sering dijual di supermarket.  Terakhir, signature menunya IKEA nih, Swedish Meatball versi Kid Combo Rp40.000, kami pesan yang kid combo, karena penasaran aja, soalnya yang reguler harganya lumayan coy! Walau akhirnya kami menyesal juga tidak memesan yang reguler. Airnya? Bawa tumbler isi air mineral dari rumah sajaa, haha. Alhasil total makan siang buat bertiga cuma kena Rp104.000 bersih. By the way, manajemen mereka lihai sekali menerapkan strategi pricing-upselling, hampir di setiap menu ada pilihan jauh lebih murah dengan membeli tambahan jumlah item.

 


Suasana area makannya kurang lebih seperti suasana kantin dengan bangku-bangku serupa berjajar rapi. Ambil makannya pun dibuat bak meja prasmanan yang beberapa menunya dibantu oleh petugas, tapi dengan view yang diset menghadap ke sisi alam Kota Baru Parahyangan yang jarang terlihat orang. Anggap saja lah view Skandinavia. Lalu ada sudut tempat duduk satu satu sisi dengan meja panjang. Sebuah alternatif untuk orang-orang yang datang sendiri. Seandainya saja IKEA dekat ke Laswi, mungkin saya bisa numpang kerja tiap hari.

Area Makan Kota Baru Parahyangan dengan Konsep Kantin

Solo Corner di Kantin IKEA Kota Baru Parahyangan


Menu paling menarik dan bikin penasaran tentu saja Swedish Meatball yang belakangan saya ketahui dari Instagram Story kawan-kawan. Memang jelas beda dibanding rasa dan tekstur baso di Indonesia, apalagi bahannya plant-based, yang artinya dibuat sintetis dari jamur dan kedelai. Walaupun begitu, tercium bau sapi yang kuat, dan rasanya betul-betul seperti bakso sapi. Bahkan kalau tidak diberi tahu, istri saya tidak akan pernah sadar kalau basonya ini baso orang vegetarian. Rasanya betul-betul seperti daging, namun berserat. Hidangan ini disiram mushroom sauce dan selai strawberry. Iya betul, selai strawberry yang biasanya kita ditemukan dioles di atas roti. Entah memang hanya di menu Swedish Meatball IKEA, atau memang budaya bawaan Swedia, tapi yang pasti, di luar dugaan rasanya enak dan tidak menjadi aneh. Selainya memberi rasa fresh pada hidangan, tanpa membuatnya menjadi baso asam manis. Swedish Meatball ini dihidangkan bersama mash potato dan kacang polong, empuk dan lembut, sehingga bisa dimakan anak saya. Untuk versi Kids Combo ini basonya hanya diberi 4 pcs, setengahnya porsi reguler.

 

Namun yang lebih berkesan adalah bonus finger puppet yang diberikan ke kami secara cuma-cuma setelah membayar semua pesanan. Berkesan karena kami punya anak balita yang memang sedang butuh mainan seperti itu. Belakangan pun saya sempat mencari hand puppet  ke toko-toko boneka, tapi tidak ketemu. Kok bisa pas gitu ya? Sesuatu yang didapat di luar dugaan memang menjadi lebih berkesan.

 

Titta Jur, Seri Finger Puppet dari IKEA

Di sekeliling tempat makan, ada beberapa product placement yang cukup menarik perhatian saat sedang bersantap. Cukup cerdas penempatannya, sehingga setelah makan dilanjut bisa ke sesi window shopping, walaupun masih tidak cukup memaksa kesadaran kami untuk belanja 1-2 barang yang harganya cukup miring hingga di bawah Rp30.000. Seperti satu set perabotan plastik seharga Rp24.900, atau taplak pot seharga Rp12.000, kita juga bisa membeli tote bag seharga delapan ribuan. Bahannya terbuat dari bahan seperti karung, tapi tentu saja dengan branding IKEA. Setidaknya lebih terjangkau ketimbang tas-tas yang dijual di mini market yang harganya bisa sampai puluhan ribu.

 

Window shopping pun berlanjut dari level puluhan ribu ke barang-barang bernilai ratusan ribu hingga jutaan, yang tentunya lebih mudah lagi untuk kami lewati. Dilewati bukan tidak menarik, tapi atas dasar kesadaran. Kalap belanja rasa-rasanya tidak mungkin kejadian, karena akan langsung diingatkan mesin ATM.

 

Salah Satu Sudut Showroom IKEA Kota Baru Parahyangan

Seperti kebanyakan orang yang berada di rak warehouse lantai 1, kami pun melakukan mandatory shoot di koridor gudang hingga menghasilkan sepasang foto yang sudah menghiasi feed Instagram istri. Percayalah, di setiap koridor Gudang terdapat minimal ada satu grup pengunjung yang sedang berfoto.

 

“Enak bangett,” begitu kata istri saya setelah balik dari toilet menjelang pulang. “Nahaa jol..jol enak balik ti WC teh”, balas saya. Rupanya tersedia juga ruangan mom and baby care yang di dalamnya ada sofa. Bener-bener deh, jadi gini experience store tuh. Datang ke toko dapet pengalaman menyenangkan. Lalu karena hati senang, kemudian jadi suka juga produknya. Buat yang saldo rekeningnya berkecukupan langsung cuss bawa pulang, buat yang tidak, lebih baik sadar tidak menambah utang.

 

Koridor Warehouse IKEA, Spot Favorit untuk Berfoto

Karena kami masuk kategori kedua, beranjaklah segera menuju gate keluar yang tepat di sampingnya terdapat ice cream machine yang kali ini cukup membujuk kami menyisihkan kembali sedikit uang untuk membawa dua plant-based soft ice cream yang satunya seharga enam ribu rupiah. Soal rasa, sebelas dua belas lah dengan mekdi punya. Tapi hanya rasa vanilla yang cukup recommended, yang rasa pisang, sedikit berasa cukup aneh. Snack yang tepat untuk dinikmati sambil menunggu bus TMP di parkiran IKEA bergerak Kembali menuju Alun-alun Bandung. Agak takut juga kehabisan bus, karena seingat saya, dulu DAMRI beroperasi hanya sampai pukul 6 sore. Tapi rupanya, bus TMP yang sudah seperti shuttle bus exclusive IKEA ini masih melaju hingga pukul 9 malam, sesuai dengan jam operasional IKEA Kota Baru Parahyangan.

 

Total hari ini, kami hanya mengeluarkan uang 116.000 untuk berwisata ke IKEA. Paling tambahannya hanya bayar biaya parkir yang seharusnya tidak sampai lebih dari 10.000. Iya, kata “seharusnya” disematkan karena terjadi hal yang tidak seharusnya. Karena ternyata, total biaya parkir hari ini mencapai 21.000 rupiah. Rupanya biaya parkir per jam untuk sepeda motor kini sudah 3.000 per jam. Yes, buat Anda-anda yang berminat mengikuti jejak kami, lebih baik mencari tempat parkir lain di sekitaran.

 

Exit Gate Kota Baru Parahyangan