Balada Banjir Pagarsih

“Rumahnya dimana?”
“Di Pagarsih”
“Itu teh dimana?”
“Itu deket Kings, dari Cibadak juga deket”
“Oh”

Percakapan di atas sering terjadi saat orang yang baru saja dikenal bertanya mengenai tempat saya tinggal. Tapi itu dulu, karena semenjak beberapa minggu lalu, nama Pagarsih menjadi populer seantero Nusantara karena tragedi banjir yang menghanyutkan sebuah mobil Grand Livina. Kini spontan saat mendengar nama Pagarsih, orang yang mendengarnya akan langsung menanyakan kondisi rumah saya saat banjir kemarin, seperti keasyikan dapat bertemu langsung dengan korban hidup suatu bencana.

Tak berlebihan bila saya menyebut Pagarsih kini terkenal seantero Nusantara, karena berbagai media kemudian berebut memberitakan kejadian bencana banjir ini. Media serasa mendapatkan emas untuk dipahat saat melihat Kota Bandung yang pamornya belakangan terangkat berkat sepak terjang Walikotanya, kini mendapat bencana yang di luar perhitungan sang mantan arsitek dan warganya. Tapi kan namanya bencana, memang siapa yang menduga.

Saya warga asli Pagarsih sejak 28 tahun lalu...yaa sudah hampir 29 tahun.
Yang  tak banyak orang tahu, pada dasarnya Pagarsih memang langganan banjir sejak dulu, namun untuk banjir yang sebesar sekarang memang dikarenakan cuaca ekstrim yang datang sekitar 1 dekade sekali. Karena walaupun tinggal di Pagarsih, rumah saya jarang sampai kemasukan air, hanya beberapa kali saja saya ingat saat banjir sebesar sekarang, yaitu  pada tahun 1996, 1997, 2006 dan 2016. Warga lama yang sudah tinggal di Pagarsih puluhan tahun pun sudah banyak yang menyiasati banjir ini dengan cara membuat pagar kedap air atau meninggikan pintu masuk ke dalam rumahnya. Media pun hanya memberitakan soal mobil yang hanyut kan? Bukan rumah warga yang terendam air. 



Setelah kejadian banjir yang kembali menghanyutkan mobil lainnya 2 minggu kemudian, sebuah tulisan yang mencoba menghubungkan banjir pagarsih dengan  hilangnya Situ Aksan kemudian beredar di berbagai sosial media dan aplikasi chat. Tulisan tersebut mencoba mengkaitkan lenyapnya Situ Aksan yang berubah menjadi perumahan adalah akibat terjadinya banjir Pagarsih kini. Disebutkan juga bahwa luapan air sungai Citepus kini tak memiliki tempat untuk bermuara. Namun saya dan banyak teman ragu akan hal tersebut, karena lokasi Sungai Citepus dan Situ Aksan itu jaraknya hampir 2 Km. Opini saya pun diperkuat oleh sebuah tulisan dari https://benwirawan.com/…/hilangnya-situ-aksan-dan-banjir-p…/ . Sang penulis disini membenarkan bahwa banjir sudah terjadi di Pagarsih sejak tahun 60-an, dan bukan karena adanya spekulasi dibangunnya perumahan di lokasi Situ Aksan berdiri saat ini. Ditambah penulis artikel tersebut memiliki hubungan dengan H. Aksan yang merupakan pemilik tanah tersebut sebelumnya.

Anggaplah tahun ini Walikota Ridwan Kamil sedang mendapat tantangan dan gogoda dibanding tahun-tahun sebelumnya, karena kebagian siklus cuaca ekstrim yang datang 10 tahun sekali. Tol Air yang sempat mengemuka mungkin bukan solusi terbaik, karena pada dasarnya tol air berfungsi mengalirkan air yang menggenang di jalan ke sungai, sedangkan sungainya sendiri sudah meluap, ditambah dengan curah hujan yang besar seperti sekarang. Area Pagarsih ini bahkan seringkali kedatangan banjir di saat hujan sama sekali tidak turun di daerah tersebut. Artinya banjir yang terjadi di Pagarsih merupakan kiriman dari hulu sungai yang tak mendapat ruang yang cukup di DAS (Daerah Aliran Sungai) yang menyempit sepanjang aliran sungai Citepus. Dan bukan hanya Warga Pagarsih saja yang perlu menjaga lingkungan, namun seluruh Warga Bandung yang tinggal di sepanjang DAS Citepus.

0 komentar:

Posting Komentar