Finding Dobi : “Menapaki Jejak Legenda Kampung Dobi Di Bandung”

“Sekarang sumber air sudekat,
beta sonde pernah terlambat lagi” 
Begitu bunyi kalimat populer dari sebuah iklan air mineral beberapa tahun silam.  Kalimat itu sepertinya mencerminkan perjalanan saya dan kawan-kawan di hari minggu lalu (2/10). Sebuah poster bertuliskan “Ngaleut Kampung Dobi” yang diedarkan Komunitas Aleut di dunia maya jumat siang, cukup kuat menggerakkan kaki saya untuk hadir di Stasiun Bandung jam 7 pagi di hari minggu. 
Mencari Jejak 'The Last Dobi' di Kampung Dobi


Dobi yang saya tau, seorang peri yang bertugas sebagai asisten rumah tangga di cerita Harry Potter, yang ternyata tak terlalu jauh pula artinya yang merupakan tukang cuci. Kampung Dobi ini tertulis dalam buku berjudul “Semerbak Bunga di Bandung raya” karangan Alm. Haryoto Kunto yang disebut-sebut sebagai kuncennya Bandung. Dalam bukunya ia bercerita mengenai salah satu kampung tertua di Kota Bandung yang para penduduknya berprofesi sebagai tukang cuci. Nama kampungnya sendiri tidak disebut demikian, orang hanya mengenalnya lewat nama Kebon Kawung yang memang sebelumnya ditumbuhi banyak pohon kawung (aren). Namun kini hanya tertinggal satu saja pohon kawung di daerah Kebon Kawung Bandung.

Mata Air Ciguriang

Di Kebon Kawung, terdapat satu mata air yang dinamakan Mata Air Ciguriang yang sampai saat ini masih memancarkan aliran air. Namun Mata Air Ciguriang ini aliran airnya kini tak sebesar dulu, dikarenakan mata air tersebut kini terbagi alirannya kepada sebuah sumur yang dibangun warga. Disinilah rupanya legenda dobi di Bandung berasal. Tak jauh dari Mata Air Ciguriang, terdapat sebuah tempat mencuci pakaian yang ukurannya hanya sekitar 4 x 1,5 meter. Tempat ini rupanya masih aktif digunakan warga untuk mencuci pakaian walau tidak sesering dahulu. Dua buah lempengan batu yang ternyata merupakan batu nisan, adalah alas yang digunakan untuk mencuci pakaian mereka. 

Saat berdiri melihat tempat cuci pakaian di dekat mata air ciguriang, kami ditegur oleh
seseorang dengan perawakan agak gempal dan rambut yang sudah memutih seluruhnya. Pak Dodo namanya, warga sekitar yang tertarik pada kerumunan kami yang tidak biasa ini. Ia rupanya cukup tahu tentang keberadaan dobi di kampung ini. Bersama dengan temannya Pak Dede yang merupakan keponakan dari Bapak Us Tiarsa (penulis buku Basa Bandung Halimunan), Pak Dodo bercerita mengenai dobi yang sudah tidak ada lagi di kampung ini. Salah satu dari dobi di kampung tersebut adalah Pak Oyo yang merupakan Ayah dari Bapak Us Tiarsa, kini sudah meninggal dunia. Kalaupun masih ada yang mencuci pakaian di tempat pencucian pakaian dekat Mata Air Ciguriang ini adalah warga sekitar yang mencuci pakaiannya sendiri, bukan mencuci pakaian sebagai dobi yang menerima jasa mencuci dari warga Bandung yang lain. Konon katanya, warga Bandung yang tak dapat mencuci pakaiannya sendiri menggunakan jasa dobi hanya di tempat ini.
Obrolan pagi dengan warga sekitar Kampung Dobi Bandung



Mayoritas para dobi ini merupakan para lelaki, karena sebelumnya cara mereka mencuci pakaian cukup menguras banyak energi, yaitu dengan dibanting-bantingkan ke alas cuci yang merupakan nisan yang langsung diambil dari pemakaman. Supaya tidak bosan, para dobi yang bertugas sengaja membanting-bantingkan pakaian secara bergantian sehingga membentuk sebuah nada. Setelah selesai dicuci dan dikeringkan, pakaian ini akan ditabur tepung kanji yang kemudian akan disetrika menggunakan setrika arang. Pakaian tersebut lalu diberi tepung kanji dengan alasan agar mengkilap, dan alas setrika akan digosok terlebih dahulu dengan daun pisang supaya wangi. 

Mata air lain di sekitar Kampung Dobi yang masih sangat jernih
Keunikan lain dari warga di kampung ini adalah kebanyakan dari mereka masih mengandalkan sumber air tradisional seperti sumur yang langsung berasal dari mata air. Dan jumlah mata air di kampung ini ternyata cukup banyak dan tersebar di beberapa titik. Bila sebelumnya saya hanya mengenal sumur yang cara pengambilan airnya menggunakan timba, kini saya mengenal ‘sumur siuk’. Sumur siuk ini terlihat bagaikan bak air raksasa, disebut ‘sumur siuk’ karena permukaan airnya dapat dijangkau cukup dengan sisiuk (gayung). Sekitar 200 meter dari mata air ciguriang, dengan sedikit melintasi ‘labirin’ di jalan-jalan kampung tersebut, akhirnya kami menemukan sumur siuk yang diceritakan warga. Di atas sumur siuk ini didirikan sebuah bangunan bersekat layaknya WC umum, sehingga warga dapat mandi dan mencuci di sumur tersebut secara bergantian dari sumber yang sama. Air yang berada di dalam sumur siuk ini sangat jernih, sehingga bayangan objek yang berada di atas permukaan air akan terpantul dengan sempurna. Tak jauh dari sumur siuk tersebut rupanya ada beberapa mata air lain yang kini dijadikan sumur timba dan sumur siuk lainnya. Melihat sumber air yang sangat melimpah, maka tak heran memang bila di kawasan perkampungan ini pada jaman dahulu sangat terkenal dengan jasa pencucian pakaiannya. 

Keberadaan kampung dobi ini tak hanya di Bandung, karena di Padang Panjang pun ada kampung yang sampai saat ini disebut Kampung Dobi. Bahkan di India, adapula sebuah perkampungan sejenis bernama Dhobi Ghat yang bahkan sudah difilmkan pada tahun 2011. Ah.. rasanya akan sangat menarik bila suatu saat dapat bertualang ke daerah lainnya untuk kembali melacak jejak dobi ini.

Masihkah ada dobi di tanah lain di Nusantara?
Apakah keberadaan dobi di Indonesia dan di India saling berhubungan?
Mungkin satu perjalanan lain akan menemukan jawabannya.

0 komentar:

Posting Komentar